Perubahan iklim, pandemi, krisis pangan, dan ancaman perang nuklir – itu semua adalah tantangan global terbesar di abad ini. Masalah-masalah besar kayak gini butuh kerja sama internasional yang solid. Tapi, kalau kita masih ngandelin cara-cara lama yang dibentuk setelah Perang Dunia II, kayaknya bakal susah buat bisa ngasih respons yang efektif.
Indonesia, sebagai pemimpin G20, harus mikir ulang agenda mereka. Apalagi, dampak pandemi COVID-19 belum selesai, dan sekarang ditambah lagi dengan naiknya harga pangan, energi, dan pupuk yang merupakan efek dari konflik Ukraina. G20 harus cepat bertindak buat ngatasi guncangan global ini.
Belum lagi, G20 juga mesti berurusan dengan ketegangan antara AS dan China setelah kunjungan Nancy Pelosi, Ketua DPR AS, ke Taiwan. Indonesia harus kerja ekstra keras buat beresin kekacauan geopolitik ini selama masih pegang posisi ketua G20.
Pada Juli 2022, Indonesia memimpin beberapa pertemuan penting di G20, termasuk pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral serta pertemuan Menteri Luar Negeri. Meskipun enggak ada pernyataan bersama, Indonesia berhasil nunjukkin kepemimpinan yang solid. Semua anggota G20 hadir meski ada ketegangan karena konflik Rusia-Ukraina. Ini bukti bahwa negara-negara G20 percaya sama Indonesia sebagai ketua yang netral, karena kebijakan luar negeri Indonesia yang nggak berpihak.
Di pertemuan Menteri Luar Negeri G20, topik yang dibahas termasuk soal gimana caranya memperkuat kerja sama internasional dan ngatasi krisis pangan dan energi global. Selain itu, ada 23 pertemuan bilateral yang digelar, dan Indonesia berhasil nego 12 paragraf penting di pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral.
Beberapa kesepakatan penting berhasil dicapai, seperti pembentukan Dana Perantara Keuangan buat Pencegahan dan Kesiapan Pandemi. Ini langkah penting buat nangani pandemi di masa depan. Ada juga kesepakatan soal paket pajak internasional OECD-G20 buat memperbaiki sistem pajak global. Tapi, soal paragraf yang ngomongin dampak konflik di Ukraina, belum ada kesepakatan. Akhirnya, cuma ada Ringkasan Ketua yang dirilis, bukan pernyataan resmi bersama.
Selama presidensi G20, Indonesia punya tiga fokus utama: infrastruktur kesehatan global, transformasi digital yang inklusif, dan transisi energi. Salah satu yang jadi perhatian adalah memperbaiki rantai pasokan pangan dunia yang kacau. Kalau Indonesia bisa ngejalanin kerja sama internasional buat keamanan pangan, itu bakal jadi pencapaian besar. Bisa aja ada kesepakatan tentang transparansi cadangan pangan nasional, perjanjian pangan global, bahkan pembentukan cadangan pangan internasional dan regional.
G20 juga bisa ngambil langkah-langkah praktis, kayak memperkuat Sistem Informasi Pasar Pertanian yang udah diperkenalkan di presidensi G20 tahun 2011. Koordinasi sama PBB dan program pangan global lainnya juga bisa bantu negara-negara yang lagi kekurangan pangan karena konflik besar.
Pandemi COVID-19 juga ninggalin dampak yang besar di banyak aspek kehidupan. Pendidikan terganggu, investasi perusahaan berkurang, dan ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. G20 bisa bantu mengatasi masalah ini.
Melalui program-program kayak Inisiatif Penangguhan Layanan Utang G20 dan Kerangka Umum buat Penanganan Utang, G20 juga bisa bantu restrukturisasi utang negara-negara yang ekonominya lagi susah. Dengan inflasi dan dampak pandemi yang masih kerasa, restrukturisasi utang bisa bantu negara-negara berkembang menghindari gagal bayar.
G20 juga perlu ngurus isu-isu yang muncul karena transformasi digital, seperti konsentrasi pasar di ekonomi jaringan, eksploitasi data, dan masalah keamanan siber. Jangan sampai kita terlambat ngatur soal ini. Transformasi digital juga perlu lebih kelihatan di statistik ekonomi kayak produktivitas dan lapangan kerja, biar kita bisa paham dampaknya ke ekonomi.
Di bawah presidensi G20 Arab Saudi tahun 2020, udah ada Peta Jalan buat Pengukuran Ekonomi Digital. Ini langkah bagus buat ngukur seberapa besar dampak digitalisasi terhadap pekerjaan, keterampilan, dan pertumbuhan sektor. Tapi, peta jalan ini perlu diperluas buat melihat juga dampaknya ke stabilitas politik, psikologi konsumen, ketidaksetaraan, dan lingkungan.
Yang paling penting, presidensi G20 Indonesia punya peluang besar buat ngembaliin kepercayaan dunia ke multilateralisme. Dengan ngatasi masalah-masalah di WTO, mereformasi institusi keuangan internasional kayak IMF dan Bank Dunia, serta memodernisasi sistem moneter internasional, Indonesia bisa bantu menjaga institusi-institusi penting ini. G20 harus jadi platform utama buat perubahan struktural jangka panjang dalam tata kelola internasional.
Krisis harusnya jadi pengingat buat ngatasi masalah-masalah mendasar, biar krisis kesehatan atau ekonomi enggak terulang lagi. Anggota G20 perlu tetap fokus pada masalah yang jadi kepentingan bersama, dan enggak kebawa agenda satu negara saja.
Duta Besar Triansyah Djani, Co-Sherpa G20 Indonesia, kasih peringatan serius: “Kalau G20 bubar, semua bakal jalan sendiri-sendiri.” G20 harus tetap ada dalam bentuknya yang sekarang, jadi platform utama buat kerja sama ekonomi global, supaya kita bisa menghadapi tantangan-tantangan di masa depan.
Setelah ini, India bakal ambil alih sebagai tuan rumah G20 tahun 2023. Tugas India adalah menjaga prinsip-prinsip konsensus G20 biar kelompok ini tetap solid dan bisa terus bertahan.
Diadaptasi dari "What can we expect from Indonesia’s G20?"
Post a Comment